Mari bernostalgia dengan air. Ciptaan Allah SWT yang tidak pernah
terhitung jasa dan manfaatnya untuk seluruh umat manusia. Dahulu ketika
kecil, sebagian dari kita mungkin pernah mengalami jika ingin
mendapatkan air minum, kita harus memasaknya terlebih dahulu.
Air mentah dari sumur dimasak, jika sudah suam kuku, air lalu
dimasukkan ke dalam teko atau kendi. Jika air baru saja dimasak, dan
kita sangat haus, sering kali orangtua kita mendinginkannya dengan cara
dituangkan, dibolak-balik dari gelas ke gelas. Begitu sabar orang tua
kita, begitu pun kita.
Kini, air sepertinya begitu mudah didapatkan, kita dapat menemukannya
di depot-depot air isi ulang, di super market. Air-air kemasan galonan
menggantikan air sumur yang dimasak. Praktis memang, tapi sepertinya ada
yang hilang, tak ada lagi proses pendinginan dari gelas ke gelas, tak
ada lagi menunggu, tidak ada lagi pelajaran kesabaran.
Ada cerita unik soal air, dahulu, sewaktu masih nyantri di Buntet pesantren Cirebon, setiap malam Jumat kami selalu mengadakan acara yang disebut “Manakib-an”,
yaitu kenduri dan pembacaan shalawat untuk Nabi Muhammad SAW, biasanya
kami lakukan kebiasaan ini di masjid atau cukup di aula asrama. Kami
membentuk lingkaran, di tengah lingkaran kami meletakkan beberapa wadah
yang berisi air minum. Usai Manakib-an, air-air itu lalu diserbu demi mengalap berkah.
Konon, air yang diperdengarkan dengan bacaan-bacaan doa dan shalawat
akan membuat air tersebut berkah, jika diminum akan membuat otak cerdas,
bermanfaat, dan sehat. Kepercayaan yang sudah turun-temurun itu telah
sejak lama diajarkan oleh para guru saya di pesantren. Lalu saya bepikir
dari mana ceritanya? Dari mana logikanya? Walaupun demikian, saya tetap
percaya dengan tradisi dan kepercayaan yang turun temurun itu;
kepercayaan kuat akan menghancurkan logika.
Benar saja, tahun 2003 Dr. Masaru Emoto seorang peneliti dari Hado Institute
di Tokyo, Jepang melalui penelitiannya menemukan bahwa partikel molekul
air ternyata dapat berubah-ubah tergantung perasaan manusia di
sekelilingnya; sejak saat itu kepercayaan saya perihal air Manakib-an
menjadi berbanding lurus dengan fakta saintifik yang dibuktikan oleh Dr.
Emoto. Logika ini pula yang kemudian membawa saya percaya bahwa air
Zam-zam di tanah suci Mekkah adalah air yang penuh dengan keberkahan
karena sejak pancuran pertama dari kaki Nabi Ismail AS sampai detik ini,
air itu tak pernah lepas oleh lafaz-lafaz Tuhan.
Air itu seperti mata kuliah dengan SKS seumur hidup. Begitu banyak
pelajaran yang dapat diambil dari air. Air selalu membuat saya berpikir
bagaimana mereka bisa begitu jernih, bisa begitu keruh, bisa begitu
sangat lemah, dan bisa begitu sangat kuat, begitu sangat diabaikan dan
begitu sangat diperlukan.
Air selalu saja menjadi pelajaran yang sangat berharga, bukan
menebak-nebak, tapi jangan-jangan kenapa hujan tetap saja turun saat
kita menggelar hajatan itu dikarenakan Tuhan tahu di saat yang bersamaan
ada petani yang sedang mengharapkan hujan datang untuk sawahnya yang
kering. Tuhan juga tahu kita lebih memiliki kesabaran yang tinggi
ketimbang sang petani. Tuhan juga tahu sang petani lebih memiliki rasa
syukur yang tulus ketimbang kita; bisa saja.
Jadi, rasanya kurang tepat jika air selalu dijadikan biang keladi
yang kerap diperbincangkan ketika wabah kekeringan melanda atau banjir
bandang datang tiba-tiba. Kenapa kita tidak menengok ke diri kita?
Jangan-jangan kesalahan ada di pihak manusia. Tak layak pula jika air
selalu menjadi ‘kambing hitam’ atas nestapa dan malapetaka ketika air
tumpah ruah di Tanah Rencong, ketika air menggenang di daratan ibu kota.
Sekali lagi, mari tengok ke diri kita sendiri.
Entah kenapa air terkadang disalahkan. Apalagi di musim hujan seperti
saat ini, titik-titik air yang berjatuhan dari udara itu selalu menjadi
momok menakutkan bagi sebagian orang. Hujan tak mengerti perasaanlah,
hujan labil lah, hujan tak tahu waktu lah, hujan reseh lah, hujan nanggung lah, abis nyuci
motor kok kenapa hujan, jemur pakaian enggak kering-kering gara-gara
hujan, dan semua kalimat yang memosisikan hujan di titik yang tidak
mengenakkan.
Padahal, kalau kita sedikit saja mau bermenung diri, di balik itu
semua, sesungguhnya hujan sedang mengajarkan kita tentang sebuah arti.
Hujan mengajarkan ‘cara’ bersyukur bagi manusia yang mengharapkannya,
dan mengajarkan ‘cara’ bersabar bagi yang tak mengharapkannya. Siapkan
saja jas hujan Anda jika hujan datang, sebab Tuhan tahu Anda ini akan
bisa belajar lebih banyak tentang arti bersabar jika hujan datang.
Hijrah Ahmad, editor Buku, Alumni Pondok Buntet Pesantren Cirebon, (@hijrahahmad)
No comments:
Post a Comment